Shalat sunnah

Shalat sunnah dan Dalil nya

    Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah, bahwasanya ada seorang Arab gunung yang rambutnya acak-acakan datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata, “Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku, shalat apa yang difardlukan oleh Allah kepadaku ?”. Jawab Rasulullah SAW, “Shalat lima waktu, kecuali kalau engkau mau shalat sunnah”.
    [HR. Bukhari juz 2, hal. 225]
Keterangan : Shalat sunnah Sebaiknya dikerjakan di rumah
Nabi SAW bersabda :
    Shalatlah wahai manusia di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baik shalat itu ialah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat fardlu.
    [HR. Bukhari juz 1, hal. 178]
Boleh dikerjakan dengan berdiri, duduk maupun berbaring :
    Dari 'Imraan bin Hushain, dahulu ia sakit bawasir (ambeiyen), ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang shalatnya seseorang dengan duduk, maka beliau SAW bersabda, "Jika (orang) shalat dengan berdiri, itu adalah yang paling baik/sempurna, dan barangsiapa yang shalat dengan duduk, maka baginya separo dari pahala yang berdiri, dan barangsiapa shalat dengan tiduran maka baginya separo dari pahala yang duduk".
    [HR. Bukhari juz 2, hal. 40]
Keterangan :
    Shalat-shalat yang dimaksud dalam hadits ini adalah Shalat Sunnah, bukan shalat wajib,karena shalat wajib tidak boleh dikerjakan dengan duduk atau berbaring/tiduran kecuali ada sebab/’udzur yang dibenarkan oleh agama.
    Dari 'Imraan bin Hushain RA, ia berkata : Dahulu aku sakit bawasir, lalu aku bertanya kepada Nabi SAW tentang shalat, maka beliau SAW bersabda, "Shalatlah dengan berdiri, jika tidak dapat maka shalatlah dengan duduk dan jika tidak dapat, maka shalatlah dengan berbaring".
    [HR. Bukhari juz 2, hal. 41]

Shalat-shalat sunnah menurut tuntunan Rasulullah SAW

Shalat sunnah rawatib yang muakkadah
Shalat sunnah rawatib ialah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum (qabliyah) atau sesudah (ba'diyah) shalat lima waktu.
Sedang yang dimaksud Muakkadah ialah yang sangat ditekankan atau dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

  1. Dari Ibnu Umar RA, ia berkata, “Saya hafal (ingat dengan betul) dari Nabi SAW sepuluh raka’at shalat sunnah; dua raka’at sebelum shalat Dhuhur dan dua raka’at sesudahnya, dan dua raka’at sesudah Maghrib di rumah beliau dan dua raka’at sesudah 'Isya di rumah pula dan juga dua raka’at sebelum shalat Shubuh”.
    [HR. Bukhari juz 2, hal. 54]

  2. Dari Ummu Habibah istri Nabi SAW, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang muslim yang setiap hari shalat sunnah dua belas raka’at selain shalat wajib karena Allah, melainkan Allah akan membuatkan baginya rumah di surga atau dibuatkan rumah baginya di surga”.
    [HR. Muslim juz 1, hal. 503, no. 103]

  3. Dari Ummu Habibah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa shalat (sunnah) sehari semalam 12 reka'at, maka akan dibuatkan baginya rumah di surga; yaitu 4 reka'at sebelum shalat Dhuhur, 2 reka'at sesudah shalat Dhuhur, 2 reka'at sesudah shalat Maghrib, 2 reka'at sesudah shalat 'Isyak dan 2 reka'at sebelum shalat Shubuh”.
    [HR. Tirmidzi juz 1, hal. 259, no. 413, ia berkata : Ini hadits hasan shahih]

  4. Dari 'Aisyah RA bahwa Nabi SAW tidak meninggalkan empat raka’at sebelum shalat Dhuhur dan dua raka’at sebelum Shubuh.
    [HR. Bukhari juz 2, hal. 54]

  5. Dari Aisyah, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Dua reka’at shalat Fajar itu lebih baik dari pada dunia seisinya”.
    [HR. Muslim juz 1, hal. 501, no. 96]

  6. Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Tidak ada Nabi SAW memperhatikan shalat- shalat Sunnah lebih dari pada dua raka’at shalat Fajar”.
    [HR. Bukhari juz 2, hal.52]

  7. Dari Ummul Mukminin Hafshah RA menyatakan: Nabi Muhammad SAW dahulu diam antara azannya muadzin hingga salat Subuh. Kemudian, sebelum salat Subuh dimulai, beliau mendahuluinya dengan melaksanakan salat dua rakaat ringan.”
    (HR Bukhari dan Muslim)
Keterangan :

Dari hadits-hadits tersebut dapat difahami bahwa shalat-shalat sunnah muakkadah itu adalah :

  1. Dua atau empat raka’at sebelum shalat Dhuhur
  2. Dua raka’at sesudah shalat Dhuhur
  3. Dua raka’at sesudah shalat Maghrib
  4. Dua raka’at sesudah shalat 'Isya
  5. Dua raka’at sebelum shalat Shubuh.

Shalat sunnah tahiyyatul masjid
Shalat Sunnah Tahiyyatul Masjid ialah : Istilah yang diberikan bagi shalat sunnah ketika memasuki sebuah masjid/musholla/langgar dan dikerjakan sebelum duduk.

Cara pelaksanaannya : Dua raka'at dan dengan bacaan sirr (tidak nyaring)

  1. Dari Abu Qatadah RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Apabila seseorang diantara kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk sebelum shalat dua raka'at”.
    [HR. Bukhari juz 2, hal. 51]

  2. Dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata : Ada seorang laki-laki masuk masjid ketika Rasulullah SAW sedang berkhutbah di hari Jum'at. Kemudian beliau bertanya, “Apakah kamu sudah shalat ?”. Orang tersebut menjawab, “Belum”. Beliau bersabda, “Berdirilah, dan shalatlah dua rekaat”.
    [HR. Muslim juz 2, hal. 596]

  3. Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : Sulaik Al-Ghathafaaniy datang ke masjid pada hari Jum’at lalu duduk, pada waktu itu Rasulullah SAW sedang berkhutbah. Lalu beliau bersabda, “Hai Sulaik, berdirilah, shalatlah 2 rekaat, dan ringankanlah”. Kemudian beliau bersabda lagi, “Apabila seseorang diantara kalian datang (ke masjid) pada hari Jum'at, dan ketika itu imam sedang berkhutbah, maka hendaklah ia shalat dua raka'at dengan ringan”.
    [HR. Muslim juz 2, hal. 597, no. 59]

Shalat sunnah Intidhar
Shalat sunnah intidhar ialah : Shalat sunnah yang dikerjakan sebelum imam naik ke mimbar/sebelum adzan pada hari Jum'at. Waktunya : Sejak masuk masjid di hari Jum'at hingga imam naik ke mimbar/adzan diserukan.

Cara pelaksanaan dan bilangan raka'atnya :
Dua raka'at salam, dua reka'at salam, dengan sirr (suara yang lembut) dan tidak terbatas bilangan raka'atnya, boleh dikerjakan menurut kemampuan dan kehendak masing-masing. Dalam hadits disebutkan :

    Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa mandi di hari Jum'at kemudian datang ke shalat Jum’at, lalu shalat seberapa ia mampu, kemudian diam (mendengarkan khutbah) sehingga khatib selesai berkhutbah, lalu shalat bersama imam, niscaya diampuni dosanya antara dua Jum'at dan tiga hari sesudahnya.
    [HR. Muslim 2 : 587, no. 26].

Shalat sunnah (ba'diyah) Jum'ah
Bila dikerjakan di masjid, 4 raka'at (2 raka'at salam, 2 raka'at salam).

    Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seseorang diantara kalian shalat Jum'ah, maka hendaklah shalat sesudah itu 4 raka'at".
    [HR Muslim juz 2, hal. 600, no. 67].

Bila dikerjakan di rumah, 2 raka'at.

  1. Dari ‘Abdullah bin 'Umar bahwasanya Rasulullah SAW dahulu shalat sebelum Dhuhur dua raka’at dan sesudahnya dua raka’at, dan sesudah Maghrib dua raka’at di rumahnya, dan sesudah ‘Isyak dua raka’at. Dan beliau tidak shalat sesudah Jum’at melainkan setelah pulang, beliau lalu shalat dua raka’at.
    [HR. Bukhari juz 1, hal. 225].

  2. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwasanya dia apabila selesai shalat Jum’at, lalu pulang, kemudian shalat dua reka’at di rumahnya. Kemudian ia berkata, “Dahulu Rasulullah SAW melakukan yang demikian itu”.
    [HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 358, no. 1130]

Keterangan :
Shalat sunnah sesudah Jum'ah, Nabi SAW mengerjakannya 2 raka'at di rumahnya. Sedang menurut hadits yang pertama shalat ba'diyah Jum'ah itu 4 raka'at, maka ini bisa diambil suatu pengertian bahwa yang 4 raka'at itu apabila dikerjakan di masjid.

Shalat sunnah Dluha
Shalat sunnah Dluha ialah : Isthilah yang diberikan untuk shalat sunnah yang dikerjakan pada waktu Dluha.
Bilangan raka'at dan cara pelaksanaannya :
Dua raka'at hingga delapan raka'at (dua raka'at lalu salam, dua raka'at lalu salam dan seterusnya) Dengan suara sirr (suara lembut).

  1. Telah berkata Abu Hurairah, “Kekasih saya (Nabi Muhammad SAW) telah berwashiyat kepada saya dengan tiga perkara yaitu :
    1. Puasa tiga hari tiap-tiap bulan.
    2. Shalat Dluha dua raka'at, dan
    3. Shalat witir sebelum tidur”.
      [HR. Bukhari juz 2, hal. 247]

  2. Dari Mu’adzah bahwasanya ia bertanya kepada ‘Aisyah RA, “Berapa raka’at Rasulullah SAW shalat dluha ?”. Jawab Aisyah, “Empat raka'at, dan kadang- kadang beliau menambah dengan beberapa yang beliau kehendaki”.
    [HR. Muslim juz 1, hal. 497, no. 78]

  3. Dari ‘Abdur Rahman bin Abu Laila, ia berkata : Tidak ada seseorang yang mengkhabarkan kepadaku bahwa ia melihat Nabi SAW shalat Dluha kecuali Ummu Hani’. Sesungguhnya ia berkata, “Bahwasanya Nabi SAW masuk ke rumah Ummu Hani’ pada waktu Fathu Makkah, kemudian beliau shalat Dluha delapan raka'at, saya tidak pernah melihat beliau shalat yang lebih ringan dari pada itu, namun beliau tetap menyempurnakan ruku’ dan sujudnya”.
    [HR. Muslim juz 1, hal. 497, no. 80]

  4. Dari Abu Dzarr, dari Nabi SAW, bahwasanya beliau bersabda, “Setiap pagi, tiap-tiap ruas sendi seseorang diantara kalian ada sadaqahnya. Maka setiap tasbih itu sadaqah, setiap tahmid itu sadaqah, setiap tahlil itu sadaqah dan setiap takbir itu sadaqah, amar ma’ruf itu sadaqah, nahi munkar itu sadaqah, dan mencukupi yang demikian itu dengan shalat Dluha dua rekaat”.
    [HR. Muslim juz 1, hal. 498, no. 84]

  5. Dari Buraidah, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Dalam diri manusia itu ada 360 persendian, yang ia harus bersadaqah untuk tiap-tiap persendian itu”. Para shahabat bertanya, “Lalu siapa orang yang mampu mengerjakan yang demikian itu, ya Rasulullah ?”. Beliau bersabda, “Engkau menutup dahak yang berada di masjid dengan tanah (itu merupakan sadaqah), atau engkau menyingkirkan gangguan yang ada di jalan (itu merupakan sadaqah), jika kamu tidak mampu, maka mengerjakan shalat Dluha dua rekaat itu mencukupi bagimu”.
    [HR. Ahmad juz 9, hal. 20, no. 23059]

Shalat sunnah Thahur
Shalat sunnah Thahur ialah shalat sunnah dua raka'at yang dikerjakan sehabis wudlu, dan dengan sirr (tidak nyaring).

  1. Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Nabi SAW bersabda kepada Bilal ketika selesai shalat Shubuh, "Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku amalan yang paling besar dan memberi harapan yang telah kamu kerjakan di dalam Islam. Karena aku mendengar suara sandalmu di hadapanku di dalam surga". Bilal menjawab, "Tak ada suatu amal yang banyak memberikan harapan selain daripada aku tidak berwudlu dengan sesuatu wudlu, baik di waktu malam maupun siang, melainkan dengan wudlu itu aku mengerjakan shalat dengan shalat yang aku diberi kemampuan untuk melakukannya (yaitu dua raka'at sunnah Thahur)".
    [HR. Bukhari juz 2, hal. 48].

  2. Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda kepada Bilal ketika selesai shalat Shubuh, “Hai Bilal, ceritakanlah kepadaku amalan yang paling besar manfaatnya dan memberi harapan yang telah kamu kerjakan di dalam Islam. Karena tadi malam aku (bermimpi) mendengar suara sandalmu di hadapanku di surga”. Bilal menjawab, “Tidak ada suatu amal yang banyak memberikan manfaat dan harapan di dalam Islam selain daripada aku tidak berwudlu dengan wudlu yang sempurna di waktu malam maupun siang melainkan dengan wudlu itu aku mengerjakan shalat dengan shalat yang Allah memberi kemampuan kepadaku untuk melakukannya (yaitu 2 rekaat shalat sunnah thahur)”.
    [HR.Muslim juz 4, hal. 1910, no. 108]

Shalat sunnah Istikharah.
Shalat sunnah Istikharah ialah shalat sunnah yang dilakukan ketika hendak mengerjakan sesuatu pekerjaan yang penting untuk memohon petunjuk ke arah kebaikan. Boleh dikerjakan pagi, siang, maupun malam
Shalat istikharah ini 2 raka'at dan dengan dibaca sirr (suara lembut).

  1. Dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata : Rasulullah SAW pernah mengajarkan kepada kami istikharah dalam urusan-urusan penting sebagaimana beliau mengajarkan Al-Qur'an kepada kami. Beliau bersabda, "Apabila seseorang diantara kalian akan mengerjakan suatu perkara hendaklah ia shalat 2 raka'at yang bukan shalat fardlu, kemudian hendaklah berdoa "Alloohumma innii astakhiiruka ..... dst" dan ia sebutkan hajatnya".
    [HR. Bukhari 2 : 51]

    Doa tersebut sebagai berikut :


    اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ

    اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ

    وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى فَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِى الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِى


    “Allahumma inni astakhii-ruka bi ‘ilmika, wa astaq-diruka bi qud-ratika, wa as-aluka min fadh-likal adziim, fa in-naka taq-diru wa laa aq-diru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma in kunta ta’lamu anna hadzal amra*) khairan lii fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii faq-dur-hu lii, wa yas-sirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna hadzal amra*) syarrun lii fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii, fash-rifhu ‘annii was-rifnii ‘anhu, waqdur lial khaira haitsu kaana tsumma ardhi-nii bih”
    Ya Allah, sesungguhnya aku mohon Engkau pilihkan yang baik dengan pengetahuan-Mu, aku mohon Engkau memberi kekuatan dengan kekuasaan- Mu, dan aku mohon karunia-Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau berkuasa sedang aku tidak berkuasa, dan Engkau mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui. Engkau yang amat mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Ya Allah, kalau Engkau ketahui bahwa perkara ini baik bagiku, agamaku, penghidupanku dan hari penghabisanku, (atau beliau mengatakan “baik cepat maupun lambat”) maka berikanlah dia kepadaku dan mudahkanlah (urusannya) untukku dan berkahilah aku dengannya. Dan jika memang Engkau ketahui bahwa perkara ini tidak baik bagiku, bagi agamaku, penghidupanku dan hari penghabisanku, (atau beliau mengatakan “baik cepat maupun lambat”), maka jauhkanlah dia dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan berikanlah kepadaku kebaikan itu walau dimanapun adanya, serta jadikanlah aku orang yang ridla akan (pemberian) itu".
    [HR. Bukhari 2 : 51].

Shalat sunnah Kusuf/shalat sunnah Khusuf. Kusuf/Khusuf ialah istilah yang diberikan untuk shalat sunnah di waktu terjadi gerhana matahari maupun gerhana bulan.

Bilangan raka'at dan cara pelaksanaannya :

  • Shalat kusuf/khusuf ini utamanya dilaksanakan di masjid secara berjama'ah dan dengan khutbah sesudah shalat.
  • Shalat gerhana ini tanpa adzan dan iqamah; tetapi hanya panggilan, misalnya "Ash-Sholaatu Jaami'ah" (Mari kita berkumpul untuk shalat)
  • Shalat sunnah ini dikerjakan sebanyak 2 raka'at dengan bacaan jahr.
  • Pada tiap-tiap raka'at mengandung 2 ruku' dan 2 sujud

Dengan cara sebagai berikut :

  1. Takbiratul Ihram,
  2. Membaca doa iftitah,
  3. Membaca ta'awwudz,
  4. Membaca Basmalah,
  5. Membaca Al-Fatihah,
  6. Membaca Amin,
  7. Membaca Surat/Ayat Al-Qur'an,
  8. Ruku' dan membaca tasbih ruku',
  9. I'tidal (berdiri tegak kembali),
  10. Membaca Surat/Ayat Al-Qur'an (tangan bersedekap seperti semula),
  11. Ruku' dan membaca tasbih ruku',
  12. I'tidal (berdiri tegak kembali),
  13. Sujud dan membaca tasbih sujud,
  14. Duduk antara dua sujud,
  15. Sujud kedua. Kemudian berdiri untuk raka'at yang kedua. Pada raka'at kedua dikerjakan seperti raka'at yang pertama tadi, mulai dari urutan nomor 4, dan seterusnya, 16. Duduk Attahiyyat dengan membaca tasyahhud dan shalawat,
  16. Salam.
    Kemudian imam berkhutbah, dan para jama'ah tenang untuk mendengarkan khutbah.

Dalil pelaksanaannya :

  • Dari 'Aisyah istri Nabi SAW, ia berkata : "Sesungguhnya telah terjadi gerhana matahari dimasa Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW pergi ke masjid. Kemudian beliau berdiri dan bertakbir dan orang-orang bershaf di belakang beliau. Dalam shalat tersebut Rasulullah SAW membaca bacaan yang panjang. Kemudian beliau bertakbir dan ruku' dengan ruku' yang panjang pula. Kemudian beliau mengangkat kepalanya sambil membaca "Sami'alloohu liman hamidah, robbanaa wa lakal hamdu". Lalu beliau membaca lagi bacaan yang panjang, tetapi lebih pendek dari pada bacaan yang pertama. Sesudah itu beliau bertakbir lalu ruku' dengan ruku' yang panjang, tetapi lebih pendek dari pada ruku' yang pertama tadi. Kemudian beliau membaca (sambil mengangkat kepala) "Sami'alloohu liman hamidah, robbanaa wa lakal hamdu". Sesudah itu beliau sujud. Kemudian beliau melaksanakan pada raka'at yang kedua sedemikian itu pula, sehingga genap empat kali ruku' dan empat kali sujud, sedang matahari pun muncul kembali sebelum beliau selesai (shalat). Setelah itu Rasulullah SAW berkhutbah, memuji Allah SWT dengan pujian-pujian-Nya, kemudian beliau bersabda : "Sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda diantara tanda-tanda kebesaran Allah. Matahari dan bulan itu tidaklah gerhana karena mati atau lahirnya seseorang. Apabila kamu sekalian melihat yang demikian itu, maka segeralah untuk melaksanakan shalat".
    [HR. Muttafaq 'Alaih, dan lafadh ini bagi Muslim 2 : 619, no. 3]

Keterangan :
Dari hadits di atas ada ulama' yang memahami bahwa shalat Kusuf/Khusuf itu setiap reka'atnya adalah 2 Al-Fatihah dan 2 bacaan surat/ayat, tetapi ada pula yang memahami bahwa bacaan surat/ayatnya 2 kali, namun bacaan Al- Fatihahnya tetap 1 kali, walloohu a'lam.

  1. Dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata : Pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW di suatu hari yang sangat panas. Lalu Rasulullah SAW mengerjakan shalat bersama para shahabat. Beliau berdiri lama sekali, sehingga banyak yang jatuh. Kemudian beliau ruku’ lama, lalu bangun dan berdiri lama, lalu ruku’ lama, kemudian bangun dan berdiri lama, kemudian sujud dua kali. Kemudian beliau berdiri dan melakukan seperti itu sehingga shalatnya mengandung empat ruku’ dan empat kali sujud. Setelah itu beliau bersabda, “Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku segala sesuatu yang akan kalian masuki. Diperlihatkan surga kepadaku, sehingga aku mengulurkan tangan akan mengambil petikan (buah) surga itu, tetapi tanganku tidak dapat mencapainya. Diperlihatkan pula kepadaku neraka. Aku melihat di dalamnya ada seorang perempuan Bani Israil yang disiksa sebab kucingnya, dia mengikat kucing itu tanpa memberinya makan dan tidak pula membiarkannya untuk makan serangga tanah. Aku juga melihat Abu Tsumamah ‘Amr bin Malik menarik ususnya di neraka”. Orang-orang berkata, “Sesungguhnya matahari dan bulan tidaklah gerhana melainkan karena meninggalnya orang yang agung”. Padahal, sebenarnya keduanya adalah dua tanda diantara tanda-tanda kekuasaan Allah yang Dia tunjukkan kepada kalian. Karena itu, apabila keduanya gerhana, maka lakukanlah shalat hingga muncul kembali”.
    [HR. Muslim 2 : 622, no. 9]

Keterangan :
Abu Tsumaamah ‘Amr bin Maalik, dalam riwayat lain disebut Ibnu Luhaiy (Luhaiy = nama laqobnya Maalik), dan dalam riwayat lain disebut ‘Amr bin ‘Aamir Al-Khuza’iy, adalah orang yang mula-mula mengada-adakan tentang Saaibah, Bahiirah dan Haam (sebagaimana tersebut dalam QS. Al-Maaidah : 103).

  1. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr RA, ia berkata : Ketika terjadi gerhana matahari pada jaman Rasulullah SAW, diseru dengan panggilan,”Ash-sholaatu jaami’ah”.
    [HR. Bukhari juz 2, hal. 25]

  2. Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi SAW membaca jahr dalam shalat gerhana dan beliau shalat dengan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka'at.
    [HR. Muslim 2 : 620]

Anjuran memerdekakan budak, bersadaqah, istighfar, dzikir dan shalat ketika terjadi gerhana

  1. Dari Asma’ (binti Abu Bakar), ia berkata, “Sesungguhnya Nabi SAW memerintahkan untuk memerdekakan budak ketika terjadi gerhana matahari”.
    [HR. Bukhari juz 2, hal : 29]

  2. Dari ‘Aisyah, ia berkata : Telah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW. Kemudian beliau berdiri untuk shalat (gerhana) ....., kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan itu diantara tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidaklah gerhana karena mati atau lahirnya seseorang. Maka apabila kalian melihat yang demikian itu, bertakbirlah, berdo’alah kepada Allah, shalatlah dan bersedekahlah”.
    [HR. Muslim juz 2, hal. : 618, no. 1]

  3. Dari Abu Musa, ia berkata : Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi SAW, lalu Nabi SAW bangkit, terkejut dan takut kalau terjadi hari qiyamat. Lalu beliau pergi ke masjid, lalu shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang sangat lama, yang saya belum pernah melihatnya sama sekali beliau mengerjakan yang seperti itu. Kemudian beliau bersabda, Sesungguhnya tanda-tanda kekuasaan Allah yang Allah kirimkan ini tidaklah terjadi karena matinya seseorang dan tidak pula karena lahirnya seseorang, akan tetapi Allah mengirimkannya agar hamba-hamba-Nya takut kepada-Nya. Apabila kalian melihat kejadian yang demikian itu, maka berlindunglah kepada Allah dengan berdzikir, berdoa dan mohon ampun kepada-Nya”.
    [HR. Muslim juz 2, hal. : 628, no. 24]

  4. Dari Mughirah bin Syu’bah, ia berkata : Pernah terjadi gerhana matahari (di masa Rasulullah SAW) pada hari meninggalnya Ibrahim (putra Rasulullah SAW), lalu orang-orang mengatakan, “Matahari ini gerhana karena meninggalnya Ibrahim”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, tidak terjadi gerhana karena mati atau lahirnya seseorang. Maka apabila kalian melihat keduanya, berdoalah kepada Allah dan shalatlah, hingga muncul kembali”.
    [HR. Bukhari juz 2 : 30]

Shalat sunnah Hajat

  • dari Bani Adam, maka hendaklah ia berwudlu dan memperbagus wudlunya, lalu shalat dua rekaat. Kemudian (setelah selesai shalat) ia memuji Allah, lalu membaca shalawat atas Nabi SAW, lalu ia membaca (yang artinya) Tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Penyantun dan Maha Pemurah. Maha Suci Allah, Tuhan pemelihara ‘arsy Yang Maha Agung. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Kepada-Mu lah aku memohon sesuatu yang mewajibkan (menyebabkan) rahmat-Mu, dan sesuatu yang mendatangkan ampunan-Mu, dan memperoleh keuntungan dari setiap kebaikan, dan selamat dari segala dosa. Janganlah Engkau biarkan dosa pada diriku melainkan Engkau mengampuninya, jangan ada sesuatu kesusahan melainkan Engkau beri jalan keluar, jangan ada sesuatu hajat yang Engkau ridlai melainkan Engkau kabulkan wahai Allah yang Maha Pengasih dari semua Pengasih.
    [HR. Tirmidzi juz 1, hal. 297, no. 477, Abu ‘Isa (Tirmidzi) berkata : Ini adalah hadits gharib. Di dalam sanadnya ada pembicaraan, (karena) Faid bin Abdur Rahman, dilemahkan haditsnya. Faid adalah Abul Warqaa’]

Keterangan :

  • Hadits tersebut diriwayatkan oleh Tirmidzi. Ibnu Majah juga meriwayatkan dengan lafadh yang agak berbeda, dan dalam sanadnya ada perawi yang bernama Faid bin ‘Abdur Rahman. Mengenai Faid bin ‘Abdur Rahman ini Bukhari mengatakan : munkarul hadiits (haditsnya diingkari). Abu Dawud mengatakan : laisa bisyai’ (tidak ada apa-apanya). Tirmidzi mengatakan : yudlo’’afu fil hadiits (hadits-haditsnya dilemahkan). Nasai mengatakan : laisa bitsiqat/matruukul hadiits (tidak kuat/haditsnya ditinggalkan). Ibnu Hibban berkata : laa yajuuzul ihtijaaju bihi (tidak boleh berhujjah dengannya). [Lihat dalam Tahdziibut Tahdziib juz 8, hal. 229-230].

Kesimpulan :

  • Hadits tentang shalat sunnah hajat ini lemah, maka tidak dapat diamalkan.