Puasa

Puasa, yang di dalam bahasa Al-Qur'an Ash-Shaum/Ash-Shiyam adalah salah satu dari beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang-orang beriman. Firman Allah :

ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. البقرة: ١٨٣
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa seba-gaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. [QS. Al-Baqarah : 183]

Pengertian Ash-Shiyam (Puasa)

Ash-Shiyam atau Ash-shaum menurut lughah/bahasa, artinya : "Menahan diri dari melakukan sesuatu". Seperti firman Allah :

اِنّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلّمَ اْليَوْمَ اِنْسِيًّا. مريم: ٢٦

Sesungguhnya aku telah bernadzar akan berpuasa karena Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun pada hari ini [QS. Maryam : 26]

Menurut Syara', ialah :

اَلاِمْسَاكُ عَنِ اْلاَكْلِ وَ الشُّرْبِ وَ غَشَيَانِ النّسَاءِ مِنَ اْلفَجْرِ اِلىَ الْمَغْرِبِ اِحْتِسَابًا للهِ وَ اِعْدَادًا لِلنَّفْسِ وَ تَهْيِئَةً لَهَا لِتَقْوَى اللهِ بِالْمُرَاقَبَةِ لَهُ وَ تَرْبِيَةِ اْلاِرَادَةِ. تفسير المنار ٢: ١٤٣

Menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh, mulai fajar hingga Maghrib, karena mengharap ridla Allah dan menyiapkan diri untuk bertaqwa kepada-Nya dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah dan mendidik kehendak [Tafsir Al-Manaar juz 2, hal. 143]

اَلاِمْسَاكُ عَنِ اْلاَكْلِ وَ الشُّرْبِ وَ اْلجِمَاعِ وَ غَيْرِهِمَا ِممَّا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ فِى النَّهَارِ عَلَى اْلوَجْهِ الْمَشْرُوْعِ. وَ يَتْبَعُ ذ?لِكَ اْلاِمْسَاكُ عَنِ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ غَيْرِهِمَا مِنَ اْلكَلاَمِ الْمُحَرَّمِ وَ الْمَكْرُوْهِ فِى وَقْتٍ مَخْصُوْصٍ بِشُرُوْطٍ مَخْصُوْصَةٍ. سبل السلام ٢: ١٥٠

Menahan diri dari makan, minum, jima' dan lain-lain yang telah diperintahkan syara’ kepada kita menahan diri padanya, sepanjang hari menurut cara yang disyariatkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan sia-sia, perkataan keji/kotor dan lainnya dari perkataan yang diharamkan dan dimakruhkan pada waktu yang telah ditentukan serta menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan. [Subulus Salaam juz 2, hal. 150]

Tegasnya : "PUASA", ialah : Menahan diri untuk tidak makan, minum termasuk merokok dan bersetubuh dari mulai Fajar hingga terbenam matahari pada bulan Ramadlan karena mencari ridla Allah.

Hukum Ash-Shiyam (Puasa)

Wajib 'Ain, artinya setiap orang Islam yang telah baligh (dewasa) dan sehat akalnya serta tidak ada sebab-sebab yang dibenarkan agama untuk tidak berpuasa, maka mereka itu wajib melakukannya, dan berdosa bagi yang meninggalkannya dengan sengaja. Firman Allah :

ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. البقرة: ١٨٣

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. [QS. Al-Baqarah : 183]

Dan hadits-hadits Rasulullah SAW :

  1. Islam didirikan atas lima sendi, yaitu
    1. Mengakui bahwa tak ada Tuhan melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad pesuruh Allah,
    2. Mendirikan Shalat,
    3. Menunaikan zakat,
    4. Berpuasa Ramadlan dan
    5. Berhajji.
      [HR. Bukhari dan Muslim]

  2. Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, saya mohon diterangkan tentang puasa yang diwajibkan oleh Allah kepada saya". Nabi SAW menjawab, "Puasa di bulan Ramadlan". Orang itu bertanya pula, "Adakah puasa yang lain yang diwajibkan atas diri saya ?". Jawab Nabi SAW, "Tidak, kecuali bila engkau hendak mengerjakan tathawwu' (puasa sunnah).
    [HR. Muttafaq 'Alaih dari Thalhah bin 'Ubaidillah]

Yang wajib berpuasa

Ketentuan-ketentuan orang yang berkewajiban menjalankan puasa di bulan Ramadlan :

  1. Orang Islam, tidak diwajibkan selain orang Islam.
  2. 'Aqil baligh (dewasa), bukan anak-anak.
  3. Sehat.
  4. Muqim (berada di daerah tempat tinggalnya/daerah iqomahnya), bukan sebagai musafir.
  5. Kuat, yakni tidak memaksakan diri karena sangat berat dan payah bila berpuasa.
  6. Khusus bagi wanita pada waktu suci, artinya tidak sedang haidl atau nifas.

Yang membatalkan puasa

Sepanjang tuntunan Allah dan Rasul-Nya hal-hal yang membatalkan puasa adalah sebagai berikut : Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187,

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ ٠البقرة : ١٨٧

Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa [QS. Al-Baqarah: 187]

Dari ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa yang membatalkan puasa itu ialah :

  1. Bersetubuh suami-isteri dengan sengaja dan dilakukan pada saat puasa (dari mulai masuk waktu Shubuh hingga masuk waktu Maghrib), padahal mereka termasuk orang yang berkewajiban puasa.
    Dan yang dimaksud dengan "bersetubuh", ialah masuknya kemaluan laki-laki/suami pada kemaluan wanita/istri. Jadi baik mengeluarkan mani maupun tidak, hukumnya tetap sama. Karena tidak adanya ayat-ayat lain maupun hadits-hadits yang membatasi, bahwa yang dimaksud "bersetubuh" adalah yang mengeluarkan mani, maka ayat itu tetap berlaku sesuai dengan keumuman lafadhnya.
  2. Makan dengan sengaja, baik makanan yang mengenyangkan atau tidak.
  3. Minum, baik yang menghilangkan haus atau tidak, termasuk merokok.

Yang boleh tidak berpuasa dan wajib mengganti di hari-hari yang lain :

  1. Orang yang sakit, yang apabila ia tetap berpuasa akan menambah berat atau akan memperlambat kesembuhan sakitnya, sedang sakitnya itu dapat diharapkan kesembuhannya (bukan sakit yang menahun atau sakit yang kronis dan terus-menerus sehingga sulit diharapkan kesembuhannya).
  2. Musafir, ialah : Orang yang sedang bepergian keluar dari daerah iqomahnya, baik dengan perjalanan yang berat dan sukar maupun dengan ringan dan mudah; kesemuanya diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan berkewajiban mengganti di hari yang lain. Berdasarkan firman Allah :

    فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ. البقرة: ١٨٤

    Dan barangsiapa diantara kamu yang sakit atau dalam bepergian (musafir) ~maka bolehlah ia berbuka~ dan mengganti di hari-hari yang lain (sebanyak yang ditinggalkannya). [QS. Al-Baqarah : 184].

    وَ مَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ. البقرة: ١٨٥

    Dan barangsiapa yang sakit atau dalam bepergian (musafir) ~maka bolehlah ia berbuka~ dan mengganti di hari-hari yang lain (sebanyak yang ditinggalkannya). [QS. Al-Baqarah : 185].

Batas waktu mengganti

Tidak ada ketentuan dalam agama tentang batas waktu mengganti puasa yang ditinggalkan. Dapat dilaksanakan pada bulan-bulan sesudah selesai Ramadlan tahun itu atau bulan-bulan sesudah Ramadlan tahun berikutnya. Tegasnya selama ia masih hidup, kapanpun boleh, tanpa menambah fidyah atau melipat gandakan puasanya (misalnya hutang satu hari diganti dua hari dan sebagainya). Hanya sebaiknya segera diganti.

Yang boleh tidak berpuasa dan hanya mengganti fidyah tanpa harus mengganti puasa di hari yang lain.

Yaitu : Orang-orang yang bila dipaksakan untuk berpuasa masih dapat, tetapi sungguh amat payah sekali dalam melaksanakannya. Perhatikan Firman Allah:

وَ عَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَه فِدْيَةٌ ... البقرة: ١٨٤

Dan terhadap orang-orang yang bisa berpuasa tetapi dengan susah payah (boleh tidak berpuasa), wajib membayar fidyah. [QS. Al-Baqarah : 184]

Ayat tersebut umum, maka siapa saja yang walaupun mampu berpuasa tetapi dengan amat payah (rekoso) dalam menjalankannya, maka termasuk yang dimaksud oleh ayat di atas, misalnya :

  1. Wanita yang sedang hamil yang bila berpuasa dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan pada dirinya dan/atau anak yang dikandungnya.
  2. Wanita yang sedang menyusui, baik anaknya sendiri maupun anak orang lain yang diserahkan kepadanya untuk disusui, yang bila dipaksakan untuk berpuasa akan sangat berat bagi dirinya dan/atau bagi anak yang sedang disusuinya itu.
    Rasulullah SAW bersabda :

    اِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَ عَنِ اْلحُبْلَى وَ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ. احمد عن انس بن مالك الكعبى

    Bahwasanya Allah SWT telah membolehkan bagi musafir meninggalkan puasa dan mengqashar shalat, dan Allah telah membolehkan perempuan hamil dan yang sedang menyusui meninggalkan puasa. [HR. Ahmad dari Anas bin Malik Al-Ka'bi].
    Dan riwayat dari Ibnu Abbas RA. tentang istrinya yang sedang hamil, katanya :

    اَنْتِ ِبمَنْزِلَةِ الَّذِى لاَ يُطِيْقُهُ فَعَلَيْكِ اْلفِدَاءُ وَ لاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ. البزار وصححه الدارقطنى

    Engkau sekedudukan dengan orang yang amat payah untuk berpuasa. Maka wajib atasmu fidyah dan tidak ada qadla' bagimu. [HR. Al-Bazzar dan dishahihkan oleh Ad-Daraquthni]
    Serta riwayat dari Ibnu 'Umar ketika beliau ditanya oleh seorang wanita Quraisy yang sedang hamil tentang hal puasanya, maka jawab beliau :

    اَفْطِرِى وَ اَطْعِمِى كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَ لاَ تَقْضِى. ابن حزم

    Berbukalah kamu dan berilah makan tiap hari seorang miskin, dan jangan mengqadla'nya. [HR. Ibnu Hazm].
  3. Orang yang lanjut usia/orang tua yang apabila berpuasa akan sangat memayahkannya. Berdasar keumuman ayat (Surat Al-Baqarah ayat 184) dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas sebagai berikut :

    رُخّصَ لِلشَّيْخِ اْلكَبِيْرِ اَنْ يُفْطِرَ وَ يُطْعِمَ وَ لاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ. الدارقطنى والحاكم

    Orang yang sangat tua, dibenarkan untuk berbuka dan wajib memberikan (fidyah) serta tidak ada qadla' atasnya. [HR. Ad-Daraquthni dan Al-Hakim].
  4. Orang yang pekerjaannya sangat berat, yang bila tetap berpuasa walaupun ia kuat akan sangat berat dan memayahkannya. Misalnya : Pengemudi becak, pekerja tambang, karyawan-karyawan pengangkat barang di stasiun, terminal, pelabuhan dan sebagainya.
  5. Orang yang sakit menahun yang (menurut ahli kesehatan) sulit diharapkan sembuhnya, atau walaupun sembuh tetapi memakan waktu yang lama sekali.
  6. Siapa saja yang karena kondisi badannya atau sebab-sebab lain akan amat berat sekali bila berpuasa, walaupun bila dipaksa akan kuat juga.

Untuk nomor d), e) dan f), ini pun dasarnya adalah keumuman lafadh dari ayat 184 surat Al-Baqarah diatas. Semua yang tersebut diatas, boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah tanpa harus mengganti puasa di hari yang lain.

Yang wajib untuk tidak berpuasa dan wajib mengganti dengan puasa di hari yang lain.

Yaitu khusus bagi wanita yang sedang haidl atau nifas. Berdasar riwayat :

  1. Dari 'Aisyah, bahwa ia berkata, "Adalah kami haidl dimasa Rasulullah SAW maka kami diperintahkan supaya mengqadla’ (mengganti) puasa dan kami tidak diperintahkan mengqadla’ shalat". [HR. Al-Jama'ah dari Al-Mu'adzah]
  2. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Sa'id, bahwa Nabi SAW bersabda: Bukankah apabila seorang wanita itu haidl, ia tidak shalat dan tidak berpuasa ? Itulah dari kekurangan agamanya. [HR. Bukhari juz 2, hal. 239]

Pengertian Sahur

Sahur, ialah makanan yang dimakan pada waktu sahur. Sahur menurut bahasa ialah "Nama bagi akhir suku malam dan permulaan suku siang". Lawannya ialah : Ashil, akhir suku siang. Menurut Az-Zamakhsyari, dinamai waktu Sahur dengan Sahur karena ia adalah waktu berlalunya malam dan datangnya siang. Dengan demikian, jelaslah bahwa Sahur bukanlah satu atau dua jam sebelum terbit fajar, namun yang dimaksud adalah nama waktu pergantian siang dan malam. Jadi apabila kita makan pada jam 24.00 (jam 12 malam) atau sedikit setelah itu tidaklah dapat dinamakan "Bersahur (mengerjakan makan Sahur)". Adapun yang dinamakan makan Sahur adalah sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW pada riwayat di bawah ini :

    Dari Anas dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, "Kami pernah bersahur bersama Rasulullah SAW kemudian kami mengerjakan shalat (Shubuh)". Aku (Anas) bertanya kepada Zaid. "Berapa tempo antara keduanya ?". Zaid menjawab, "Sekadar membaca 50 ayat Al-Qur'an". [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].

Hikmah Sahur

Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Sa'id bahwa Nabi SAW bersabda :

    Sahur itu suatu berkah. Maka janganlah kamu meninggalkannya, walaupun hanya dengan meneguk seteguk air, karena sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas orang yang bersahur. [HR. Ahmad]
    Diriwayatkan oleh Muslim dari 'Amr bin 'Ash bahwa Rasulullah SAW bersabda:
    Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab ialah makan sahur. [HR. Muslim].

Keraguan tentang waktu Sahur

Bila seseorang ragu apakah telah habis waktu ataukah belum, maka ia diperbolehkan makan dan minum hingga nyata-nyata baginya bahwa waktu sahur telah habis dan masuk waktu shubuh. Firman Allah :
    Dan makanlah, minumlah, sehingga nyata kepadamu benang putih dari pada benang hitam yaitu Fajar. [QS. Al Baqarah : 187]
    Dari ayat di atas jelaslah bahwa Allah memperkenankan makan dan minum, sehingga nyata benar terbitnya Fajar.

Adab Berbuka

Apabila sudah tiba waktunya dianjurkan untuk segera berbuka :

  1. Dari Sahl bin Sa'ad RA. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Senantiasalah hamba itu dalam kebaikan apabila mereka menyegerakan berbuka". [HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah].
  2. Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Allah 'Azza wa Jalla berfirman, "Yang paling Ku-sayangi dari hamba-hamba-Ku ialah yang paling segera berbuka". [HR. Tirmidzi juz 2, hal. 103, no. 696]
  3. Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dari Anas bin Malik, katanya : Tidak pernah aku melihat walau sekali Rasulullah SAW shalat Maghrib lebih dahulu sebelum berbuka, walaupun hanya dengan seteguk air. [HR. Ibnu ‘Abdil Barr dari Anas bin Malik]
  4. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad dan Tirmidzi dari Anas, sbb :
    Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Adalah Rasulullah SAW berbuka dengan kurma basah sebelum shalat (Maghrib), jika tidak ada kurma basah, maka beliau berbuka dengan kurma kering, dan jika tak ada kurma kering, beliau menyendok beberapa sendok air. [HR. Abu Dawud, Ahmad dan Tirmidzi]
  5. Adalah Rasulullah SAW suka berbuka puasa dengan tiga biji korma atau sesuatu yang tidak dimasak dengan api. [HR. Abu Ya'la dari Anas]
  6. Rasulullah SAW bersabda : Apabila seseorang diantara kalian berbuka, maka hendaklah ia berbuka dengan korma. Jika ia tidak memperoleh korma, hendaklah ia berbuka dengan air, karena air itu bersih dan membersihkan. [HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Sulaiman bin 'Amir]

Kesimpulan :

Hadits-hadits di atas menerangkan kepada kita, bahwa apabila kita berbuka puasa maka disunatkan untuk :

  1. Menyegerakan berbuka.
  2. Sebelum shalat Maghrib kita berbuka dahulu walaupun dengan seteguk air.
  3. Berbuka dengan tiga biji korma, bila tidak ada, dengan sesuatu makanan yang manis dan tidak dimasak dengan api. Seperti : pisang, kates, nanas dan lain-lain.
  4. Bila tidak ada buah-buahan maka disunatkan kita untuk berbuka dengan air.
  5. Dan dikala berbuka dituntunkan untuk membaca do'a sebagai berikut :

    ذَهَبَ الظَّمَأُ وَ ابْتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ وَ ثَبَتَ اْلاَجْرُ اِنْ شَاءَ اللهُ. ابو داود ٢: ٣٠٦، رقم: ٢٣٥٧، عن ابن عمر

    Haus telah hilang, urat-urat telah basah dan semoga pahala tetap didapatkan. Insya Allah. [HR. Abu Dawud juz 2, hal. 306, no. 2357, dari Ibnu Umar]

Tentang doa berbuka puasa

Ada bermacam-macam doa berbuka puasa, diantaranya sebagai berikut :

  1. Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Adalah Nabi SAW apabila berbuka puasa beliau berdoa, “Alloohumma laka shumnaa wa ‘alaa rizqika afthornaa fataqobbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim (Ya Allah, untuk-Mu kami berpuasa, dan atas rizqi-Mu kami berbuka, maka terimalah (ibadah) dari kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui)”. [HR. Daraquthni juz 2, hal. 185 no. 26, dlaif karena dalam sanadnya ada perawi ‘Abdul Malik bin Harun bin ‘Antarah]
  2. Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Adalah Nabi SAW apabila berbuka puasa beliau berdoa, “Laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minnii innaka antas samii’ul ‘aliim (Untuk-Mu aku berpuasa, dan atas rizqi-Mu aku berbuka, maka terimalah ibadahku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui)”. [HR. Thabarani dalam Al-Kabir juz 12, hal. 113, no. 12720, dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Abdul Malik bin Harun bin ‘Antarah, ia dlaif]
  3. Bismillah, Alloohumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthortu (Dengan nama Allah. Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizqi-Mu aku berbuka). [HR. Thabarani, dalam Al-Ausath hadits no. 7547, dalam sanadnya ada perawi bernama Dawud bin Zabraqan, ia dlaif – Majma’uz Zawaaid juz 3, hal. 279]
  4. Dari Mu’adz RA, ia berkata : Adalah Rasulullah SAW apabila berbuka puasa beliau berdoa, “Alhamdu lillaahil-ladzii a’aananii fa shumtu wa rozaqonii fa-afthortu (Segala puji bagi Allah yang telah menolongku, sehingga aku berpuasa dan telah memberi rizqi kepadaku, maka aku berbuka)”. [HR. Ibnu Sunni hal. 169, no. 479, sanadnya dlaif, karena di dalamnya ada perawi yang tidak disebutkan namanya]
  5. Dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasanya telah sampai kepadanya bahwa Nabi SAW apabila berbuka puasa beliau berdoa, “Alloohumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthortu (Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan dengan rizqi-Mu aku berbuka puasa)”. [HR. Abu Dawud juz 2,hal. 306, no. 2358, hadits tersebut mursal, karena Mu’adz bin Zuhrah tidak bertemu Nabi SAW]

  6. عَنِ ابْنِ اَبِى مُلَيْكَةَ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ اْلعَاصِ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: اِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةٌ مَا تُرَدُّ، قَالَ ابْنُ اَبِى مُلَيْكَةَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو يَقُوْلُ اِذَا اَفْطَرَ: اَللّهُمَّ اِنّى اَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِى وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ اَنْ تَغْفِرَ لِى. ابن ماجه ١: ٥٥٧، رقم ١٧٥٣ حسن

    Dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata : Saya mendengar ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa itu ketika berbuka ada doa yang tidak akan ditolak”. Ibnu Abi Mulaikah berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Amr apabila berbuka puasa berdoa, “Alloohumma innii as-aluka birohmatikal-latii wasi’at kulla syai-in an taghfiro lii (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan rohmat-Mu yang luas meliputi segala sesuatu agar Engkau mengampuni aku)”. [HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 557, no. 1753, hadits hasan]

  7. عَنْ مَرْوَانَ يَعْنِى ابْنَ سَالِمِ الْمُقَفَّعِ قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقْبِضُ عَلَى لِحْيَتِهِ فَيَقْطَعُ مَا زَادَ عَلَى اْلكَفّ وَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ الله ص اِذَا اَفْطَرَ قَالَ: ذَهَبَ الظَّمَأُ وَ ابْتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ وَ ثَبَتَ اْلاَجْرُ اِنْ شَاءَ اللهُ. ابو داود ٢: ٣٠٦، رقم ٢٣٥٧، حسن

    Dari Marwan, yakni bin Salim Al-Muqaffa’, ia berkata : Aku melihat Ibnu ‘Umar RA memegang jenggotnya, lalu memotong yang lebih dari genggaman tangannya. Ia berkata : Adalah Rasulullah SAW apabila berbuka puasa beliau berdoa, “Dzahabadh-dhoma-u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru, insyaa-allooh (Haus telah hilang, urat-urat telah basah dan semoga pahala tetap didapat, insyaa-allooh). [HR. Abu Dawud juz 2, hal. 306, no. 2357, hadits hasan]

Keterangan :

Dari riwayat-riwayat di atas bisa kita ketahui bahwa yang derajatnya hasan adalah riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abi Mulaikah dan riwayat Abu Dawud dari Marwan bin Salim. Namun pada riwayat Ibnu Abi Mulaikah di atas, doa tersebut adalah lafadhnya Ibnu ‘Amr. Adapun pada riwayat Abu Dawud tersebut lafadh doa itu dari Nabi SAW. Dengan demikian kita ketahui bahwa doa berbuka puasa yang paling kuat riwayatnya adalah yang diriwayatkan Abu Dawud dari Marwan bin Salim dari Ibnu ‘Umar (Dzahabadh-dhoma-u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru, insyaa-allooh).